Kiong Hoo, Pria Tua Gemar Bercerita

Pria tua itu berjalan tertatih-tatih. Tubuhnya yang penuh kerutan jadi penanda usia. Pelan-pelan ia berjalan sambil menentukan arah. Langkah-langkah kecil diambilnya kadang cepat, kadang lambat, sambil sesekali melirik ke kanan-kiri. Tampak pria tua itu enggan menggerakkan kepala untuk melihat mereka yang menyapa. Bukan, bukan karena sombong, tapi karena terbatas fisik dan geraknya.

Ironis. Waktu muda, rupawan muka dan gagah perkasa tubuh pria tua itu. Pemain sepakbola PON untuk Surakarta  katanya. “Dulu opa penyerang tengah di tim,” ceritanya kepada yang muda dengan bangga. Tapi itu dulu. Kini, jangankan menyepak bola, berlari pun dia tak bisa. Jangankan menyundul bola, menggerakkan kepala saja sudah tak biasa.

Kini, pria tua itu telah meraih semua. Enam anaknya hebat-hebat prestasinya. Yang tertua bersuamikan pengusaha dan pernah jadi tangan kanan pengusaha jaya. Yang kedua jadi ibu rumah tangga dan melahirkan dua mantan atlet renang muda, kini keduanya pekerja swasta dan pengusaha. Yang ketiga juga jadi ibu rumah tangga, sambil membantu suaminya mengurus usaha yang sukses luar biasa. Yang keempat jadi perancang busana dan menghasilkan banyak adi karya. Yang kelima, pria gagah mirip rupa dengan dia, meneruskan usaha kayu dari keluarga istrinya. Yang keenam membantu usaha suaminya, membuka toko roti di Salatiga.

Keenam anak pria tua itu telah mandiri dan berjaya sendiri-sendiri. Sungguh merupakan prestasi. Begitu pula dengan beberapa cucu-cucunya. Lemari tua zaman Belanda di dekat pintu jadi saksi. Di atas lemari itu terpajang rapi foto-foto pria tua itu sedang menggendong kesembilan cucu-cucunya. Tentu saat mereka sedang lucu-lucu bentuk dan rupanya. Kalau sekarang mungkin sudah amit-amit ya. He-he-he-he…

Enam foto bersama cucunya, inilah kebanggaan pria tua itu

Enam foto bersama cucunya, inilah kebanggaan pria tua itu

Pemandangan di atas lemari tua jadi mengingatkan saya dengan memori-memori tua. Seakan kembali ke 17 -19 tahun yang lalu. Memori memang barang berharga, apalagi bila berkaitan dengan mereka yang kita cinta. Masih tersimpan dalam pikiran saya, bagaimana ia bercanda. Dengan kaki-kakinya yang kuat itu ia kerap menjepit tubuh saya. Sambil bercanda ia menantang saya yang masih mungil agar keluar dari lipatan kakinya. Bila tak bisa, dengan sengaja ia menggosok-gosok janggut kasar bekas cukuran ke pipi sambil menggoda. Geli-geli rasanya.

Sembilan kami bersama pria tua dan istrinya

Apa hanya itu memori saya tentang dirinya? Ah, waktu saya kecil mungil, ia memang tak banyak bicara. Pembicaraan dimulai justru baru-baru ini, ketika saya dewasa. Banyak cerita keluar dari mulut pria tua itu. Dari masa jayanya sebagai pesepakbola, keluarga, kehidupan sehari-hari, hingga soal-soal gereja. Namun ada satu topik favorit pria tua itu, yaitu kerabat dan sahabat. Kerap ia dipancing oleh anak mantunya, “Pap kenal si ‘ini’ ndak?” Kerap juga saya mendengar jawabnya, “Loh itu kan anaknya si ‘itu’, tinggale neng ‘situ’ to.”

Lama sudah kalau pria tua itu bercerita. Berjam-jam lamanya, apalagi sambil makan makanan kesukaannya. Ia bisa runut mengurutkan silsilah keluarga kerabat dan sahabat-sahabat. Bahkan sampai tempat tinggalnya pun tak luput ia kisahkan, lengkap dengan sejarahnya pula. Kagum juga saya mendengar cerita-ceritanya itu, sampai-sampai terbesit pikiran, jangan-jangan ia walikota Surakarta.

Walau fisiknya telah melemah dan kekuatannya perlahan lenyap, tapi semangat berceritanya tak pernah padam. Begitu pula dengan semangat untuk bertuah. Tiap tahun pada bulan Desember, kala anak-mantu-cucunya berkumpul,  pria tua itu selalu bertuah. Tuahnya pun macam-macam isinya, namun satu yang pasti ia ucapkan. Soal Tuhan. Tak pernah ia absen mengingatkan anak-cucu-mantunya agar selalu tunduk dan setia pada Tuhan. Semuanya itu ia sampaikan langsung melalui kata-kata dalam doa.

Doa memang jadi kebanggaan pria tua itu. Semenjak muda tak pernah ia absen berdoa dan beribadah. Dulu, menurut ibu saya, pria tua dan istrinya tak pernah absen berlutut di pagi buta untuk mengucap doa. Tiap-tiap nama anak-mantu-cucunya diucapkan dan dibawanya kepada Penguasa Semesta. Ibu saya menyebut kegiatan itu “puyer cap dengkul”, obat sakti yang membuat keluarga besar pria tua itu jadi jaya.

Sayang, “puyer cap dengkul” kini tak bisa lagi dia lakukan. Kaki dan dengkulnya sudah tak kuat menahan berat tubuh yang telah renta. Mungkin ini pertanda. Pertanda bagi saya dan sanak saudara yang lain, untuk membuatkan “puyer cap dengkul” baginya. Memanjatkan doa-doa bagi pria tua yang kini terbaring di sebuah rumah sakit di Surakarta.

Bukan sihir, hanya anugerah semata. Dari dua jadi dua puluh dua.

dedicated for my beloved grandfather, Liem Kiong Hoo. 

Jeffrey Satria

4 thoughts on “Kiong Hoo, Pria Tua Gemar Bercerita

  1. Merinding bacanya. Terakhir bertemu 23 Des 2012 masih tak tanya, “Piye Oom, sehat?” Tidak seperti biasa jawabannya yg optimis biasa menjawab ,” Sehat banget” Dan biasanya bawa raport hasil lab. Kali ini beliau menjawab,” Yah….kayak gini ini.”

Tinggalkan komentar