BUKAN SURAT CINTA UNTUK KALIAN

Saya tak tahu apa yang dipikirkan oleh Hegel, sang filsuf itu, saat menemukan dialektikanya yang terkenal. Sebuah proses menemukan sebuah ide baru dari kontradiksi dua ide. Sebuah tesis atau pengiyaan, dipertemukan oleh antitesis atau penolakan, untuk melahirkan sintesa atau perdamaian kontradiksi. Sayangnya di zaman ini, dialektika ini tidak terlalu dianut. Hegel memperkenalkan dialektika ini agar suatu saat pemikiran terus berkembang seiring zaman. Buah pikir yang idealis pada zaman yang satu akan dipertentangkan terus pada zaman berikut, hingga idealisme baru terus tercipta. Saya rasa begitu.

Di zaman media sosial, di mana buah ide baru bisa dipublikasikan setiap saat, tanpa kenal dimensi ruang dan waktu, rasanya kita kewalahan untuk membuat antitesisnya. Zaman ini, di mana setiap orang punya kubu tersendiri untuk mendukung pernyataannya, antitesis atau perlawan merupakan sesuatu yang dianggap aneh atau tabu. Tidak ada lagi kritik yang mengawasi atau membatasi sebuah ide agar lebih berkembang. Pertentangan atau kritik atau argumentasi dianggap sebagai kebisingan yang tidak menyenangkan. Perlawanan terhadap kritik biasanya diluncurkan menggunakan kebebasan berpendapat atau pernyataan macam “life is a choice”, “ini menurut gue kok, kalau gak suka skip aja”, dan semacamnya. Membawa kita kepada sebuah kondisi dimana pertentangan atau argumen menjadi salah, dengan alasan “demokrasi” atau kebebasan mengutarakan pendapat.

Padahal, demokrasi sesungguhnya bukan antikritik. Justru demokrasi sesungguhnya membebaskan kritik untuk deras mengalir, agar sebuah ide bisa semakin baik. Merunut semangat kebebasan berpendapat, sesungguhnya bila kita menelurkan sebuah ide secara publik, maka pantaslah kita mendapat kritik atas ide tersebut. Bukan bersembunyi di dalam kerumunan yang sependapat, lalu beramai-ramai menyerang kritik dengan mengatasnamakan “pendapat gue pribadi”.

Saya masih memegang teguh prinsip bahwasanya segala sesuatu yang dipublikasikan ke publik adalah konsumsi bersama. Baik itu karya tulis, video tiktok jogat-joget, ulas makanan ala Youtuber yang hanya mengandalkan enak, enak banget, dan ala-ala mau meninggal, atau buah pendapat kritik film yang sok-sokan puitis atau filosofis. Buah karya itu tidak anti kritik, bahkan harusnya dikritik habis-habisan. Sayangnya, generasi Z ini bukannya menerima kritik dengan baik, tapi sebaliknya, mengumpulkan kubu yang sepaham dan meluncurkan sebuah kultur penolakan terhadap kritik. Kultur itu lagi-lagi berlindung dalam paham kebebasan berpendapat, yang sebetulnya menusuk jantung mereka sendiri.

Tidak sedikit “karya” generasi Z yang beredar di media sosial yang begitu salah kaprah. Di antara mereka berani menjadi food blogger dan membuat ulasan ala-ala estetik, tanpa mempedulikan konteks, rasa, bahan, dan sejarah bagaimana sebuah hidangan terbuat. Beberapa dari mereka terkenal dengan menjual ide-ide “miskin” seperti memajukan kuliner UKM atau warung pinggir jalan. Ujungnya hanya angkat jempol sambil tinju-tinju tanpa ada konten edukasi sama sekali. Kita dibodohi dengan pengambilan video yang menarik dan host yang cantik atau lucu, baik mukanya, tubuhnya, atau tingkah lakunya. Bobot acaranya nol, namun audiensnya membludak. Belum lagi ada yang membuat konten masak-masakan ekstrim dengan gaya-gaya pola ekstrim, dengan bumbu “memberi makan warga miskin”. Ini yang saya sebut bahwa kemiskinan adalah komoditas.

Tidak ada lagi ide segar. Semua rata-rata hanya mencontoh. Selebritis yang satu hanya menirut yang lain. Yang satu pura-pura jadi pengemis, yang lain pamer kedermawaan. Yang satu tur rumah mewah, yang lain pamer beli mobil baru. Semua pembuat konten ini jadi pemenang, audiens jadi pecundang. Kita dibodohi soal ulasan makanan, cara cepat jadi sukses atau kaya tanpa kerja, dan sampai-sampai cara berderma. Belum lagi, ulasan-ulasan hotel atau film yang tanpa basis pengetahuan film. Asal cuap bagus atau tidak bagus tanpa mengerti teori penulisan skrip, atau latar belakang cerita. Bila dahulu kritik harus memiliki pengetahuan yang mumpuni, sekarang, hanya mengandalkan rasa atau membandingkan dengan yang lebih bagus saja, kita bisa jadi kritikus.

Betapa dangkalnya ide itu jatuh. Di saat beberapa yang lain berusaha untuk masih membuat yang terbaik dengan praktik bertahun-tahun, para generasi Z ini membuatnya seakan mudah. Membuat kedai kopi atau coffee shop saja bisa meniru. Maka tak heran dalam waktu kurang dari 5 tahun begitu banyak kedai kopi buka. Dan kurang dari 5 tahun, begitu banyak orang juga ikut-ikutan menyangrai kopi. Mereka merasa bahwa menyangrai kopi adalah sebuah kenaikan tingkat. Kalau sudah jadi barista, maka berikutnya jadi roaster. Semua dilakukan tanpa melihat resiko bahwa ada waktu belajar yang panjang untuk masing-masing profesi. Padahal kalau mau jujur, naik tingkat dari barista menjadi roaster itu adalah kesemuan belaka. Apa yang salah menjadi barista seluruh hidup? Menekuni satu hal sampai menjadi ahli? Kenaikan tingkat adalah alasan goblok agar bisa lari dari kebosanan. Kalian yang sekarang menjadi roaster karena ingin naik tingkat, hanya takut dan bosan akan terjebak dalam satu profesi selamanya. Kalian hanya seorang pengecut berkedok passion atau mencari purpose of life.

Realitanya kita terjebak dalam lingkaran setan yang dibuat oleh generasi Z. Lingkaran setan yang membuat mereka terjebak dan lelah oleh ide-ide mereka sendiri. Akhirnya yang keluar adalah healing atau kalau saya boleh vulgar, melarikan diri karena takut berkedok liburan untuk menenangkan diri. Liburan karena baru 3 bulan bekerja, atau keluar dari kuliah setelah 3 semester karena rasanya tidak sesuai dengan passion. Untuk anak-anak muda ini, “tai kucing kalian”.

Panggil saya tua, tapi untuk saya proses membutuhkan waktu. Dan waktu bertemankan kebosanan. Berteman dengan kebosanan tidak menyenangkan, namun manis hasilnya. Walau tidak langsung sekaya Indra Kenz yang akhirnya ditangkap polisi, paling tidak kebosanan memberikan kamu satu bekal, yakni kemahiran. Kemahiran adalah hal yang tidak bisa kamu rasakan tanpa merasa kebosanan. Kemahiran tak akan datang tanpa mengorbankan waktu, tenaga, bahkan uang kamu. Dan kamu tidak bisa mendapatkannnya tanpa berdiam dan fokus pada satu hal. Jangan percaya pada orang yang berkata, “kamu harus bisa semua, dan kejar semua peluang.” Kenapa? Karena kita tidak diciptakan 1000 tahun untuk hidup. Waktu terlalu singkat, untuk bisa jadi semua. Bila ingin jadi semua, kamu hanya akan menjadi orang yang tahu semua tapi tidak mahir apa-apa. Jack of all trades.

Tinggalkan komentar